Rabu, 15 Juni 2016

Melihat Kembali POLIGAMI dengan HIKMAH

Sahabat Hikmah..
Kali ini saya perlu menjelaskan lebih jauh tentang poligami,
Karena ada di antara kita sahabat yang anti poligami,
dan ada juga sahabat yang mendukung dengan sangat.

Sahabat yang anti poligami…
Mereka  telah membenci poligami dengan membabi buta.
Padahal poligami adalah salah satu syariat Allah.
Membenci poligami berarti membenci salah satu aturan Allah.
Membenci aturan Allah berarti tidak ridho dengan Allah.
Membenci aturan Allah berarti tidak ridho dengan Islam.
Membenci aturan Allah berarti tidak ridho dengan Rasulullah.
Padahal Surga dimasuki orang ridho kepada Allah dan diridhoi oleh Allah.

”Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga `Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS Al Bayyinah:8)

Sebagai seorang muslim kita harus ridho Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan  Muhammad sebagai nabi dan rasul (‘radhiitu billahi robban wa bil Islami diinan wa bi Muhammadin nabiyyan’ wa rasuulan)

Sahabat yang mendukung poligami dengan sangat…
Mereka berkampanye tentang poligami.
Mereka menganggap berpoligami adalah kemuliaan.
Bahkan sebagian mengukur kebaikan agama seseorang,
adalah bila dia berpoligami dan mau dipoligami.
Karena mereka menganggap poligami adalah sunnah Rasul yang harus diikuti.

Lalu bagaimana melihat poligami dengan bil-hikmah ?
Poligami adalah bagian dari aturan Allah,
Poligami adalah salah satu solusi yang diberikan oleh Allah.
Tetapi dalam pelaksanaannya harus dengan syarat yang telah ditentukan.
Dan tidak gampang untuk setiap orang bisa melaksanakannya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS An-Nisa, 4:3)

Pada saat ayat tersebut turun…
Poligami sudah menjadi budaya masyarakat saat itu.
Bahkan memiliki isteri dan selir lebih dari empat.
Dengan ayat ini Allah membatasi hanya  empat isteri saja.
Itupun dengan bil-hikmah Allah menawarkan …
Bagi orang yang takut tidak berlaku adil…

Maka hendaknya menikah dengan seorang isteri saja.
Ayat tersebut bukan memotivasi dan mengapresiasi poligami.
Ayat tersebut adalah cara Allah mengajak hidup berkeluarga secara adil.
Seperti proses Allah mengharamkan khomer…
Yang sudah menjadi bagian dari budaya saat itu.
Allah tidak langsung mengharamkannya.
Demikian juga dengan poligami.
Para sahabat disuruh memilih yang terbaik buat mereka
Jadi hukum poligami adalah mubah (boleh) dengan syarat.
Dan syaratnya adalah orang tersebut  yakin  dapat berlaku adil.
Bila syarat tidak bisa dipenuhi…
maka berubah menjadi makruh (dibenci) atau haram (dilarang).

Orang yang menambah isteri berarti menambah amanah,
Menambah tanggung jawab, beban dan ujian.
Dan bila memahami makna hidup adalah ujian…
Maka jangan sekali-kali meminta diuji atau minta amanah.
Seperti halnya meminta jabatan.
Kecuali diberi amanah.
Dan langit, bumi dan gunung pun enggan memikul amanah…
Kecuali manusia yang mau menerima…
Bahkan meminta dan memperebutkannya…

”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”( QS Al-Ahzab : 72)

’Kullukum raa’in wa kullukum mas’uulun ’an ra’iyyatihi’
”Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya.”

Kemudia apa yang dimaksud adil ?
Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Melakukan sesuatu yang seharusnya.
Melakukan sesuatu sesuai kehendak Allah dan Rasul-Nya
Lawan dari adil adalah zhalim,
yang berarti berbuat aniaya dan dosa.
Jadi adil tidak jauh berbeda dengan taqwa.
”Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Maidah:8)

Dalam Al-Quran Allah menjelaskan bahwa berlaku adil dengan isteri-isteri adalah sangat susah :
”Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nisa, 4:129)

Karena untuk berlaku adil adalah tidak mudah,
Maka hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melakukannya.
Yaitu hanya orang-orang yang sangat bertaqwa saja yang  bisa berlaku adil.
Sehingga apabila belum bisa adil dan bertaqwa dengan satu isteri…
Mengapa berani menambah isteri lagi?
Bila ingin lebih mudah dalam menjalani ujian hidup…
Dan takut berlaku tidak adil…
Bukankah lebih baik beristeri satu saja ?

Tidak ada keadilan…
Orang yang berpoligami dengan sembunyi-sembunyi
karena dia telah berbohong dan berdusta,
Yang berarti dia telah berbuat zhalim kepada dirinya,
Isteri-isterinya dan anak-anaknya…
serta orang-orang lain yang telah dibohongi.

Tidak ada keadilan…
Orang yang tidak bisa adil dan bertaqwa dengan satu isteri…
Kemudian dia menambah isteri lagi…
Satu amanah saja tidak bisa memenuhi hak-haknya ?
Apatah lagi dengan lebih dari satu isteri ?
Bukankah ini adalah kezhaliman dengan diri …
Dan orang-orang yang menjadi tanggungannya?

Tidak ada keadilan….
Orang yang berpoligami tanpa keputusan bersama…
Karena keputusan bersama adalah awal dari keadilan.
Karena Keluarga  harus penuh keharmonisan dan kebersamaan.
Dan keadilan juga berdasarkan keharmonisan dan kebersamaan.

Tidak ada keadilan…
Bila berpoligami hanya menuruti hawa nafsu saja..
Karena menuruti hawa nafsu selalu bertentangan dengan keadilan.

Tidak ada keadilan…
Bila dengan poligami hilang kebahagiaan
Karena kebahagiaan adalah cermin Keadilan.

Poligami sunnah Rasulullah ?
Poligami memang sunnah Rasul…
Karena poligami merupakan bagian dari pernikahan.
Dan menikah adalah sunnah Rasul.

(’Sunnah’ menurut Imam Syafi’i adalah penerapan Nabi Muhammad Shalallahu ’alaihi wa sallam terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami Rasulullah sedang mengejawantahkan surat An-Nisa ayat 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Sehingga dari sekian perkawinannya Rasulullah menikah dengan janda mati, kecuali dengan Aisyah binti Abu Bakar Radliyallahu ’anha.)

Jadi Hukum asal poligami adalah sama dengan menikah yaitu mubah.
Dan bisa berubah menjadi sunnah, wajib, makruh, bahkan haram.
Jadi bukan seperti sholat sunnah atau puasa sunnah….
Sehingga orang termotivasi untuk melakukan poligami…
Seperti termotivasi untuk melakukan amalan sunnah (nawafil).
Orang yang melakukan banyak amalan sunnah (nawafil)…
akan membuat baik agamanya,
dan Allah akan semakin mencintainya.

Akan tetapi orang yang telah melakukan poligami
belum tentu menjadikan baik agamanya.
Kalau dia bisa adil dan bertaqwa baru akan membuatnya mulia.
Tetapi bila dia tidak adil maka akan membuat dia celaka.
Ketaqwaannya bukan diukur dengan pelaksanaan poligami tersebut,
tetapi dari keadilannya (baca taqwanya).

”Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujurat : 13)

Lalu bagaimana Rasulullah melakukan poligami?
Rasulullah hidup pada masa jahiliyah,
dimana orang biasa berpoligami lebih dari 4 isteri.
Tetapi Rasulullah  memulai hidupnya dalam berkeluarga dengan monogami,
yaitu dengan beristerikan Khadijah binti Khuwalid.
Pernikahan ini  berlangsung selama 28 tahun.
Dua tahun sepeninggal Khadijah baru  Rasulullah berpoligami.
Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau.

Sahabat Hikmah…
Bila suami-isteri telah sepakat untuk berpoligami…
Musyawarahkan lagi dan perhatikan hal-hal yang berat untuk berlaku ADIL  di bawah ini:

1. Tidak sanggup menafkahi.
2. Tidak sanggup membahagiakan.
3. Tidak sanggup mengelolah kecemburuan.
4. Tidak sanggup mengatur waktu.
5. Memberikan citra negatif pada dakwah.
6. Membuat keretakan hubungan keluarga besar suami-isteri.
7. Mengurangi produktifitas dakwah.
8. Mengurangi perhatian terhadap anak-anak.
9. Menguras tenaga, pikiran dan perasaan.
10. Menambah masalah hidup yang sudah berat.
11. Menambah amanah yang akan dipertanggungjawabkan.

Bila Engkau dan isteri merasa berat untuk hal-hal tersebut…
Maka  bersenang-senanglah dengan isteri satu-satunya…..!!
Bersyukurlah dengan apa yang ada…
Nikmati dan buatlah harmonisasi dan variasi…
Dan buatlah lebih terbuka dalam komunikasi..

Bila Engkau menginginkan sesuatu dengan wanita lain…
Lakukanlah dengan isterimu yang sudah ada dan halal untukmu…
Nikmatilah dan syukurilah…
Dari Jabir, sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat wanita, lalu Baginda masuk ke tempat kediaman Zainab, untuk melepaskan keinginan Baginda kepadanya, lalu keluar & bersabda, “Wanita kalau menghadap, ia menghadap dalam rupa syaithan…….apabila seseorang di antara kamu melihat wanita yang menarik, hendaklah ia mendatangi isterinya karena pada diri isterinya ada hal yang sama dengan yang ada pada wanita itu.” (Hadis Riwayat Tirmizi)

Bila Engkau tidak dapat memiliki apa yang Engkau sukai…
Maka sukailah apa yang Engkau miliki.

Wallahu a’lam bishshawab.

Semoga dapat mengambil HIKMAH.

Kamis, 09 Juni 2016

BERKUMUR UNTUK WUDHU DI SAAT BERPUASA , APAKAH BOLEH ??

Assalaamu Alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh. 

Sering terjadi berdebatan di kalangan muslim perihal  Berkumur  untuk wudhu di saat berpuasa , apakah dibolehkan ?, atau dilarang  menurut  Islam.  Pendapat yang membolehkan berkumur saat puasa mengatakan bahwa jika kumur adalah sunnah dari wudhu, maka itu boleh saja dilakukan, apalagi mengingat pahala amalan sunnah yang dikerjakan pada saat bulan ramadhan menjadi berlipat pahalanya setara pahala amalan wajib, jadi sayang bila ditinggalkan.Pendapat seperti ini tentunya perlu dikaji lebih lanjut. Pada kesempatan kali ini kami akan coba mengemukakan pendapat dengan di dasari  Hadits dan tentunya dalam hal ini dibutuhkan berlogika untuk memahami perkara ini.   Pertama kita harus membahas  tentang hal yang membatalkan  puasa.

Hal yang membatalkan puasa adalah  MAKAN  DAN MINUM.  Di dalam FIQIH IMAM SYAFI'I berkumur saat puasa dihukumi MAKRUH. Dijelaskan bahwa berkumur untuk wudhu diperbolehkan sepanjang tidak berlebihan dan tidak tertelan. Namun dalam hal ini kita hendaknya berhati-hati, kita harus ingat bahwa jika orang berkumur, maka kemungkinan besar adalah akan ada bagian yang terserap oleh dinding rongga mulut ataupun lidah yang dalam kondisi kering akibat berpuasa. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa sangat sulit sekali atau tidak mungkin seseorang yang berkumur bisa menahan air, agar tidak terserap masuk ke dalam dinding rongga mulut maupun lidah. Kita juga harus ingat bahwa berkumur di dalam wudhu hukumnya adalah sunah, jadi apabila ditinggalkan pun tidak mengapa, mengingat resiko apabila masuk tertelan akan membatalkan puasa. Jangan karena kita mengejar amalan sunah, dengan resiko membatalkan amalan yang wajib (Puasa), ibarat  "karena mengejar ayam,  sapi yang sudah di tangan jadi terlepas". Jadi saya berpendapat bahwa lebih baik berkumur untuk wudhu di saat berpuasa tidak dilakukan.

Di dalam Al Qur'an  ALLAH mengharamkan  khomer (minuman keras) ,  keharaman khomer ini adalah ketika diminum .  Dan dalam hal ini , ulama'  sepakat bahwa yang dimaksudkan dengan minum di sini adalah banyak ataupun sedikitnya tetaplah haram .  Analogi di atas dapat kita berlakukan juga terhadap larangan minum bagi orang yg berpuasa .  Ketika ALLAH mengharamkan minum bagi orang yg sedang menjalankan kewajiban berpuasa  di bulan ramadhan ,   maka  banyak ataupun sedikitnya tetaplah tidak diperbolehkan . 

Jika kita mengingat  hal ini , maka kumur itupun menjadi terlarang dan membatalkan puasa . 

hadis2  yang dipakai sebagai sandaran yang memperbolehkan kumur ,  itupun terasa aneh .  misalnya hadis sbb : 

Laqith bin Shabirah r.a menyampaikan , bahwa Rasulullah SAW bersabda ,  "sempurnakanlah wudhu, usaplah antara sela-sela jari , dan bersungguh-sungguhlah memasukkan air ke dalam hidung lalu menyemprotkannya , kecuali kamu sedang berpuasa"  (Diriwayatkan oleh imam empat . Hadis ini dinilai shahih oleh ibnu Khuzaimah)

Hadis ini dianggap sebagian orang sebagai rambu bahwa kumur diperbolehkan ,  mereka berpendapat bahwa yg dilarang adalah memasukkan air ke dalam hidung scr bersungguh-sungguh (terlalu ke dalam) ,  sedangkan jika tidak terlalu dalam boleh. 
hal ini tentu saja terasa aneh . Padahal  jika kita baca teliti ,  justru  frasa "kecuali kamu sedang berpuasa"  , ini dimaksudkan bahwa ketika puasa ,  dilarang memasukkan air ke dalam hidung (beristinsyak) . 

Jadi dengan adanya hadis tsb di atas justru menjadi bukti bahwa  istinsyak saat puasa itu dilarang ,  sehingga kumur pun bisa disetarakan dilarang juga , karena hidung berhubungan dekat dan tembus dengan rongga mulut  .
Ada hadits yang secara tidak langsung mengandung hikmah, bahwa berkumur di waktu berpuasa itu menjadi tidak boleh. Hadits itu adalah sebagai berikut :

Rasulullah SAW bersabda :  “ Semua amal anak cucu Adam itu untuknya. Satu kebaikan dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat.  ALLAH berfirman , “Kecuali puasa, ia untukKu, dan Aku yang membalasnya. Dia meninggalkan makan demi Aku, meninggalkan isterinya demi Aku. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi ALLAH dari pada aroma minyak wangi kesturi. Orang yang berpuasa mempunyai dua kegembiraan, yaitu kegembiraan waktu berbuka dan kegembiraan pada waktu bertemu Rabbnya”

(Shahih Lighairihi .  Hadits Riwayat at Tirmidzi)

Pada Hadits di atas dikatakan “Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi ALLAH dari pada aroma minyak wangi kesturi” .  Kalimat ini secara tak langsung dan gamblang mengatakan dan mengklaim bahwa mulut orang yang sedang berpuasa itu adalah berbau tak sedap.



Secara logika jika setiap wudhu dibolehkan kumur, maka tidak akan terjadi mulut orang yang berpuasa itu berbau tak sedap, karena paling sedikit dikumur sebanyak 3x dalam satu hari. Sedangkan kalimat pada hadits di atas mengklaim bahwa mulut orang yang berpuasa itu berbau tak sedap,  berarti menandakan bahwa orang berpuasa itu dilarang untuk berkumur, sekalipun itu di saat wudhu.

Alasan yang mengatakan di bulan Ramadhan amalan sunnah pahalanya menjadi berlipat seperti pahala amalan wajib, sehingga sayang bila ditinggalkan, adalah tidak relevan, karena banyak contoh amalan yg sunnah di waktu tidak puasa, namun menjadi terlarang ketika berpuasa. Contohnya yaitu hubungan suami isteri. Bukankah ini suatu amalan yang berpahala, dan dianjurkan ketika tidak sedang puasa ?,  namun menjadi larangan dan ber dosa  ketika dilakukan saat berpuasa di bulan Ramadhan.
Katakanlah  hal ini masih dalam perdebatan ,  langkah yg paling aman adalah menghindari atau tidak melakukan kumur mengingat resikonya yang bisa membatalkan puasa kita .   Sekali lagi  janganlah  "karena mengejar ayam,  sapi yang sudah di tangan jadi terlepas". Jadi saya berpendapat bahwa lebih baik berkumur untuk wudhu di saat berpuasa tidak dilakukan.

Nah...... itulah pendapat kami,  bagi yang setuju....,  silahkan diikuti,  dan bagi anda yang tidak setuju..., silahkan berkomentar di tempat yang sudah disediakan. Sekian dan terima kasih.

Wassalaamu Alaikum Warakhmatullaahi Wabarakaatuh.

SILAHKAN JIKA ANDA INGIN BERKOMENTAR

Rabu, 01 Juni 2016

Belajar Mana Dulu? Jelas Akidah Dulu

Tidak sedikit yang sudah menimba ilmu agama sejak lama, namun sayang ia tak tahu arah. Tidak ada skala prioritas ketika belajar. Padahal ilmu agama itu begitu banyak. Walau kita akui semua itu penting, namun ada yang jelas lebih penting.

|Apa yang lebih penting?
|Jelas lah, mempelajari akidah shahihah.

Maka belajar yang tepat adalah dengan mempelajari akidah lebih dahulu sebelum ilmu lainnya. Dalam dakwah pun demikian. Dakwah pada akidah dan tauhid itulah yang mesti jadi prioritas.
Apa dalilnya, belajar itu mulai dari akidah, sebelum lainnya?

عَنْ جُنْدُبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ فَتَعَلَّمْنَا الإِيمَانَ قَبْلَ أَنْ نَتَعَلَّمَ الْقُرْآنَ ثُمَّ تَعَلَّمْنَا الْقُرْآنَ فَازْدَدْنَا بِهِ إِيمَانًا »

Dari Jundub bin ‘Abdillah, ia berkata, kami dahulu bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami masih anak-anak yang mendekati baligh. Kami mempelajari iman sebelum mempelajari Al-Qur’an. Lalu setelah itu kami mempelajari Al-Qur’an hingga bertambahlah iman kami pada Al-Qur’an. (HR. Ibnu Majah, no. 61. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Ada beberapa faedah dari hadits di atas:
Para sahabat ketika kecil sangat semangat mempelajari hal iman (berbagai hal terkait rukun iman) sebelum perkataan dan perbuatan.

Para sahabat kecil juga semangat mempelajari dan menghafal Al-Qur’an.
Para sahabat sangat semangat belajar agama.

Pentingnya membekali diri dengan iman dan mempelajarinya, mulai dari beriman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab Allah, iman kepada para Rasul, iman kepada hari akhir dan iman kepada takdir. Inilah asas akidah yang mesti ditanamkan dalam diri. Itulah yang kita kenal dengan rukun iman yang enam. Iman seperti ini yang harus ditanamkan dengan benar sebelum mempelajari Al-Qur’an.

Mempelajari Al-Qur’an jadi bermanfaat jika memiliki bekal iman yang shahih.
Akidah hendaklah sudah ditanamkan pada anak-anak kita sejak dini. Sudah benarkah imannya pada Allah, sebagai penciptanya, pemberi rezeki, dan pengatur alam semesta. Semisal pula, sudah benarkan ia jadikan Allah sebagai satu-satunya ilah.

Dalam dakwah juga mesti memprioritaskan dakwah pada akidah.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

لَمَّا بَعَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مُعَاذًا نَحْوَ الْيَمَنِ قَالَ لَهُ « إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى فَإِذَا عَرَفُوا ذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ ، فَإِذَا صَلُّوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً فِى أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ غَنِيِّهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فَقِيرِهِمْ ، فَإِذَا أَقَرُّوا بِذَلِكَ فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِ النَّاسِ »

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz ke Yaman, ia pun berkata padanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab. Maka jadikanlah dakwah engkau pertama kali pada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan Allah Ta’ala. Jika mereka telah memahami hal tersebut, maka kabari mereka bahwa Allah telah mewajibkan pada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka telah shalat, maka kabari mereka, bahwa Allah juga telah mewajibkan bagi mereka zakat dari harta mereka, yaitu diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan disalurkan untuk orang-orang fakir di tengah-tengah mereka. Jika mereka menyetujui hal itu, maka ambillah dari harta mereka, namun hati-hati dari harta berharga yang mereka miliki.” (HR. Bukhari, no. 7372; Muslim, no. 19).

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, serta mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan yang demikian, terpeliharalah dariku darah serta harta mereka, melainkan dengan hak Islam. Sedangkan perhitungan mereka diserahkan pada Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari, no. 25; Muslim, no. 21)

Para ulama pun telah bersepakat (berijma’) bahwa setiap kafir didakwahi pertama kali pada dua kalimat syahadat. Itulah dakwah pertama. (Lihat Dar Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 8: 6)

Wallahu waliyyut taufiq.

Mana buku referensi Islam yang dikaji lebih dahulu, silakan kaji di sini.

Referensi:

http://www.alukah.net/sharia/0/59990/#ixzz46stIv0gj
https://rumaysho.com/12283-strategi-dakwah-2-dakwah-pertama-adalah-dakwah-tauhid.html

Diselesaikan di @ Darush Sholihin, Panggang, GK, Selasa pagi, 18 Rajab 1437 H
Oleh Al-Faqir Ila Maghfirati Rabbihi: Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.Com, Channel Telegram @RumayshoCom, @DarushSholihin, @UntaianNasihat, @RemajaIslam

Sabtu, 13 Februari 2016

~"*;; Menjadi Muslim Yang Cerdas ;;*"~


Bismillahirrahmanirrahiim...

Bertakwalah kepada Allah sebagaimana rasulullah lakukan dan tiga generasi sesudahnya bertakwa (Sahabat, Tabi'in, Tabi'ut taabiin).
Tuntutlah ilmu sebagaimana cara para sahabat menuntut ilmu, kita harusnya sadar jarak kita dengan Rasulullah sudah terlampau jauh, ini bisa menyebabkan kesalahan tafsir perbedaan pendapat, dan hal lainnya

Secara pribadi, saya prihatin banyak da'i yang masih belum benar-benar memahami islam secara mendalam namun sudah mengisi program acara di televisi nasional. Sedangkan da'i yang keilmuan islamnya sudah bisa dibilang capable malah hampir tidak memiliki kesempatan berbicara dimedia.

Media adalah faktor penting untuk menggerakkan, mempengaruhi dan menyampaikan informasi kepada masyarakat luas, jika informasi yang disampaikan salah maka Na'udzubillahi mindzalik.

Di postingan kali ini, saya ingin mengingatkan mari menjadi muslim yang cerdas, mari mendengarkan dengan hati dan pikiran yang jernih agar dijaman sekarang kita tidak mudah terjerumus pada hal-hal yang bathil.

Saya pernah menoton sendiri acara dakwah di sebuah televisi nasional, seorang penceramah mengatakan bahwa yang dia bilang adalah sebuah hadits, namun jelas sekali salah yang barusan dia ucapkan adalah sebuah peribahasa arab bukan hadits, hal seperti ini harusnya sudah dia ketahui.

Baik, anggap saja kita tidak miliki kuasa untuk merubah format acara di televisi tersebut namun kita tetap bisa menjadi pendengar muslim yang cerdas. Tips berikut bisa memudahkan kita untuk mengetahui kualitas seorang pendakwah dan menjauhkan kita dari informasi yang salah tentang islam....

*** MELAKUKAN SUNNAH ***

Sunnah itu adalah perilaku, kebiasaan Rasulullah. Secara fiqih iya, sunnah bila ditinggalkan tidak berdosa. Para penuntut ilmu jaman dahulu, sebelum belajar dengan seorang ulama, biasanya orang itu akan sampai menginap sampai tiga hari untuk mengetahui bagaimana ulama ini mengamalkan sunnah. Bila dianggap sesuai, baru mau belajar. Tentu dizaman sekarang tidak bisa diterapkan cara seperti ini, tapi mudahnya adalah dengan mengetahui ciri-ciri fisik (yang sesuai sunnah), gaya bicara (menunjukkan akhlak), dan cara mengajar (menunjukkan kedalaman ilmu). Sesungguhnya orang yang berilmu pasti omongannya akan selalu berdasarkan (menyebut) ayat Quran atau Hadits, atau referensi ijtihad ulama-ulama besar terdahulu. 

Dari perkataan sebelumnya kita dapatkan petunjuk dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam serta para shahabat dan tabi’in (serta ulama lain setelah mereka) agar kita mengambil ilmu dari orang yang alim, ’adil (terpercaya dalam agamanya) dan istiqamah, serta melarang mengambil ilmu dari orang-orang jahil dan fasiq. Al-Imam Malik bin Anas menambahkan : ”Ilmu tidaklah diambil dari empat orang :

من سفيه معلن بالسفه وإن كان أروى الناس ولا تأخذ من كذاب يكذب في أحاديث الناس إذا جرب ذلك عليه وإن كان لا يتهم ان يكذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا من صاحب هوى يدعو الناس الى هواه ولا من شيخ له فضل وعبادة إذا كان لا يعرف ما يحدث

”(1) Orang yang bodoh yang menampakkan kebodohannya meskipun ia banyak meriwayatkan dari manusia;
(2) Pendusta yang ia berdusta saat berbicara kepada manusia, meskipun ia tidak dituduh berdusta atas nama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam (dalam hadits);
(3) Orang yang menurutkan hawa nafsunya dan mendakwahkannya; dan
(4) Orang yang mempunyai keutamaan dan ahli ibadah, namun ia tidak tahu apa yang dikatakannya (yaitu tidak faqih)” [Al-Kifaayah 1/77-78].

~"*;; Motivasi Untuk Diri Yang Lupa ;;*"~

KETIKA aku ingin hidup KAYA,
Aku lupa bahwa HIDUP adalah KEKAYAAN.

KETIKA aku takut MEMBERI,
Aku lupa bahwa semua yang aku miliki adalah PEMBERIAN.

KETIKA aku ingin jadi yang TERKUAT,
Aku lupa bahwa dalam KELEMAHAN, Allah memberi aku KEKUATAN.

KETIKA aku takut RUGI,
Aku lupa bahwa HIDUPKU adalah sebuah KEBERUNTUNGAN.

HIDUP ini sangatlah INDAH jika
MENSYUKURI apa yang sudah ada.

Adakalanya yang TERINDAH bukanlah yang TERBAIK,

Yang SEMPURNA tidak menjanjikan KEBAHAGIAAN.

Tetapi ketika kita mampu dan mau MENERIMA semua KEKURANGAN & KELEBIHAN...

Itulah KEBAHAGIAAN.